Bermain Kain di Kian Berkain
Festival Budaya Kotagede sukses membuat pengunjung puas dengan kegiatan live experience-nya. Kali ini Minvers menghadiri salah satu kelasnya yaitu Kian Berkain. Kian Berkain adalah kelas yang menyuguhkan pengalaman styling atau gaya berpakaian menggunakan kain. Minvers diberikan kesempatan untuk memilih sendiri kain dan aksesoris yang disuka, bergaya dalam berbagai cara yang asik. Dalam acaranya, FBK 2023 menggaet tokoh penata busana Kotagede yang memiliki ketertarikan dalam dunia wastra yaitu Dilla Auliya Dina atau yang sering disapa Kudil (@tapi.aku.suka).
Mungkin terlintas pertanyaan apa yang membedakan kain yang digunakan dalam Kian Berkain dengan kain yang biasa dipakai sehari-hari. Kain yang dimaksud disini adalah kain khas daerah dari sepenjuru Indonesia yang masih berbentuk lembaran –belum dipotong dan dijahit membentuk pola pakaian, biasa disebut juga sebagai wastra.
Sore itu, Kian Berkain ditemani oleh Kak Melati rekan tapi.aku.suka. Menjelaskan bahwa wastra digolongkan menjadi 2 berdasarkan geografi yaitu, wastra yang diproduksi di daerah pesisir dan yang diproduksi di daerah pedalaman. Wastra pesisir memiliki ciri kain berwarna-warni ‘nyentrik’ yang berani dan memiliki motif seperti bunga-bunga dan beraneka tanaman. Wastra pedalaman memiliki ciri berwarna gelap, nude, atau earth tone dengan motif burung juga parang.
Semakin berkembangnya jaman terdapat pula batik kontemporer. Bukan dicanting, bukan dicap, bukan dicelup. Batik kontemporer dibuat dengan cara ‘diukir’. Teknik ukir ini mirip dengan gambar tapi berbeda dengan canting. Ukir memang menggunakan canting namun hanya untuk membuat sketsa awal motif yang kemudian dipertegas dengan sapuan kuas. Motifnya pun disesuaikan seperti lebih padat pada bagian bawah dan polos pada bagian atas.
Sebenarnya dalam pembuatan batik kontemporer tidak memiliki aturan atau teknis khusus tertentu, inilah yang membuat batik kontemporer terkesan lebih berbeda dan segar dari pada batik pada umumnya.
Kain lain yang menarik perhatian Minvers adalah kain sejenis batik bernama Sasirangan khas Kalimantan Selatan. Sasirangan umumnya dibuat dengan teknik tusuk jelujur (arah horizontal dengan jarak naik turun tusuk diatur sama panjang), kemudian diikat dengan benang atau tali rafia dan selanjutnya dicelup.
Selanjutnya yang tak kalah menarik adalah bahan dasar pembuatan kain batik yang antimainstream. Yaitu serat nanas. Yup, Guvers ngga salah baca kalau ada kain yang dibuat dari serat nanas. Kain batik yang dihasilkan dari serat nanas cenderung bersifat kuat, tipis, mengilap, cukup licin dan tipis. Mirip seperti katun dan sutra. Terobosan kain serat nanas ini lahir untuk mengakali aturan larangan menggunakan sutra bagi kaum adam sekaligus mendukung sustainable fashion.
Selepas dari Kian Berkain Minvers dan Kak Melati sempat berbincang kecil tentang budaya Indonesia yang pernah hampir luput dari kehidupan generasinya ini, berkain.
Kak Melati mengungkapkan, “Padahal kita dari kecil itu sudah lekat dengan kain. Kita dulu bayi dibedong dengan kain. Dulu siapapun, tak lepas dari gender dan pangkatnya, semuanya pake kain. Nah, kalo aku sendiri suka berkain juga karena eman kalau harus memotong-motong kain yang memang sudah indah. Nanti jadinya kalau harus dibentuk pakaian bisa ngerusak motifnya, jadi ga keliatan indahnya. Padahal kan hanya dengan selembar kain itu kita bisa loh kreasikan berbagai style.”
Kalau menurut Minvers sendiri, berkain ngga perlu pakai alasan. Kalau sudah suka ya pakai, pertahankan, dan lestarikan. Jangan sampai seni budaya warisan Indonesia dikerdilkan di tanah sendiri, dilestarikan hanya karena rasa iba (swara gembira).
Oleh: Qonita Khaira Listie